Bukan Balada Remaja Ingusan.
Sembilan tahun perjalanan yang sudah ditempuh untuk sampai di fase hidup yang sakral satu ini. Iya, pernikahan yang selalu menjadi impian setiap insan. Bagiku, penantian delapan tahun itu bukan perkara yang mudah. Apalagi untuk seorang wanita yang hampir kepala tiga dengan semua stigma masyarakat yang sifatnya “menyerang” dari segala arah. Namaku Neni, seorang perempuan yang sedang merintis usaha fashion untuk ibu busui. Merintis usaha di usiaku yang hampir kepala tiga di tahun ini memang tak mudah, banyak rintangan yang timbul baik secara fisik maupun batin.
Tok, Tok, Tok
Aku membuka
pintu setengah malas, tampak pria paruh baya memakai pakaian serba oranye bertuliskan
“Kantor Pos”
“Maaf Mba, Apa benar ini rumah Neni
Dirista?”
“Benar Pak, Ada yang bisa dibantu”
“Ini Mba, Saya mau mengantar paket”
“Oh, Baik Pak. Terimakasih.”
“Sama-sama Mba.”
Seusai
Tukang Pos mengantar paket yang ternyata surat undangan dari Mira temanku yang
berada di Bandung. Batinku bergejolak menerima kenyataan bahwa aku juga ingin
segera menikah. Bukan untuk menyetarakan level hidup layakanya teman-teman,
tetangga, ataupun tuntutan orang tua, melainkan untuk menaikkan level fase
hidupku sebagai seorang manusia. Terlebih dari itu, aku juga mempunyai hubungan
yang cukup dibilang harmonis dengan pacarku sejak kuliah hingga detik ini.
Rizki
Ramadhan, seorang laki-laki yang bersedia menemani langkahku sejak awal kita
bertemu. Dia adalah senior kampus yang cukup disegani oleh senior lainnya
maupun ia masih dihitung sebagai seorang junior di kampus. Seseorang yang cukup
bisa diandalkan walaupun seringkali sifat keras kepala dan narsistiknya cukup
membuat aku kewalahan.(Part1)
Komentar
Posting Komentar